Liputan6.com, Jakarta 28 Maret 1830, gencatan senjata dalam Perang Jawa yang berlangsung selama Ramadan berakhir tragis. Panglima Perang Jawa, Pangeran Diponegoro ditangkap dua hari setelah Lebaran akibat rencana licik Belanda.
Dua pekan sebelum penangkapan, 8 Maret 1830, Diponegoro memboyong 700 prajurit bergerak menuju Magelang. Ketika memasuki Magelang, Diponegoro dan pasukannya mengenakan sorban dan jubah hitam dengan tombak terhunus.
Di sana, dia tinggal di sebuah rumah besar, berdinding bambu, dan beratapkan daun kelapa. Rumah singgahnya itu terletak di kawasan tanjung, di tepi Kali Progo, yang oleh masyarakat disebut daerah Metesih.
Memasuki hutan belantara, kondisi tubuh Diponegoro sudah lemah akibat perang bertahun-tahun. Terutama penyakit malaria tropika yang cukup parah. Akibatnya ia harus diam di hutan-hutan daerah Bagelen Barat.
Seorang pejabat militer Belanda, Cleerens menggambarkan kondisi tubuh sang pangeran. “Lebih dari siapapun, (ia) membutuhkan istirahat. Seluruh tubuhnya terlihat sangat letih,” demikian digambarkan dalam buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey.
Peter Carey, sejarawan asal Inggris yang menuliskan sejarah Diponegoro menyebut peristiwa itu dengan “Bulan Puasa yang Tak Biasa”. Di sanalah mereka menjalankan ibadah puasa. Dan selama menjalankan puasa, tidak ada perang sebagaimana permintaan Diponegoro.
Letnan Gubernur Jenderal de Kock membiarkan Diponegoro menikmati jaminan keamanan semu, sembari berharap sang pangeran menyerah tanpa syarat. Berbekal informasi kondisi Diponegoro dari Cleerens itu, De Kock menyiapkan rencana licik menangkap sang pangeran.
Dalam buku Strategi Menjinakkan Diponegoro, Stelsel Benteng 1827-1830 karya Saleh A. Djamhari dikisahkan, pukul 10.00, panglima Perang Jawa (1825-1830) itu ditemani dua putranya meninggalkan penginapan menuju rumah residen. Rumah dinas yang ditinggali Letnan Gubernur Jenderal de Kock itu menjadi tempat perundingan.
Dalam otobiografinya, Diponegoro mengemukakan bahwa dia sama sekali tidak merasa perlu mengenakan baju zirah seperti saat berperang. Dia memakai pakaian santai, seakan-akan hendak jalan-jalan. Para pengikutnya juga sama, tidak ada seorang pun yang memakai tanda pangkat atau jabatan.
Lukisan Raden Seleh tentang penangkapan Diponegoro, menggambarkan pangeran mengenakan sorban hijau dengan warna merah dan putih di pucuknya. Jubah putih di atas celana panjang, kemeja lengan panjang, stagen lebar berwarna kuning keemasan dengan tasbih yang menjuntai.
Diponegoro merasa kedatangannya sesuai adat Jawa untuk melakukan silaturahmi di Hari Raya Idulfitri. Pangeran Diponegoro datang didampingi Basah Mertonegoro Kaji Ngisa, Kaji Badaruddin, dan dua punakawan, Rata dan Bantengwareng serta dua anak Diponegoro yang kecil.
Ketika tiba di rumah karesidenan, Diponegoro disambut oleh Valck, Residen Kedu serta dipersilakan masuk ke ruang kerja De Kock. Tata duduk diatur secara protokoler. Para pengikut Diponegoro berada di ruang tengah. Mereka duduk di bangku-bangku di luar ruangan, tempat Diponegoro tetap dapat dilihat oleh mereka.
Senjata mereka dilucuti oleh pengawal karesidenan. Diponegoro mulai curiga dan gusar lantaran dilarang Jenderal De Kock pulang ke Metesih dan tetap tinggal bersamanya di rumah karesidenan.
“Mengapa saya tidak diperkenankan pulang (jenderal)? Apa yang harus saya lakukan di sini? Saya datang dengan bersahabat semata-mata untuk suatu kunjungan singkat,” kata Diponegoro penuh keheranan seperti dalam buku Strategi Menjinakkan Diponegoro.
Dalam Babad, disebutkan Diponegoro meluapkan kemarahannya kepada De Kock. “Tidak ada maksud untuk bertengkar, minta benar sendiri akhirnya anda berbuat begini. Dua orang telah berkata Anda mengajak berdamai dengan jalan berunding,” kata Diponegoro penuh emosi.
Menyadari telah tertipu, Diponegoro kemudian menyatakan diri bertanggung jawab dan bersalah atas pecahnya peperangan. Namun, Diponegoro tetap menolak untuk menyerah dan menyatakan lebih baik mati.
“Mengenai perang, semua itu saya yang bersalah (tanggung jawab). semua itu darma melaksanakan perintah saya perang di seluruh tanah Jawa,” tegas Diponegoro dalam buku itu.
Meski terkejut dengan akhir perundingan, Gondokusumo, panglima muda sekaligus pengiring Pangeran Diponegoro di Magelang, mengatakan Diponegoro selalu tahu pada akhirnya ia akan ditangkap.
“Sang pangeran akan malu bila ia mundur dari tuntutannya. Namun dengan cara ini martabatnya di mata rakyat akan tetap terjaga, tidak berkurang,” demikian kesaksiannya seperti dicatat De Stuers.
Diponegoro ditangkap lalu diasingkan. Tempat pengasingan pertamanya adalah Manado, Sulawesi Utara. Namun, Pangeran Diponegoro tak lama berdiam di Benteng Amsterdam. Pihak kolonial memutuskan memindahkannya ke Benteng Fort Rotterdam di Makassar.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5429426/original/092713200_1764586226-PHOTO-2025-12-01-17-29-39__1_.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4612825/original/014284200_1697463859-still-life-with-scales-justice_1_.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5435393/original/080438500_1765033263-5f7c3963-c5d5-4226-a1a9-e0a83d6d9d3a.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5220657/original/051264800_1747288189-f74e327b-a827-471b-8447-d781aade73d4.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5435374/original/085085000_1765028236-WhatsApp_Image_2025-12-06_at_16.00.25.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5432140/original/085176600_1764758142-IMG_4244.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)