Liputan6.com, Jakarta Lebih dari separuh hidup Peter Carey dihabiskan untuk meneliti sosok Diponegoro. Peter Carey merupakan sejarawan asal Inggris yang dikenal karena meneliti Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa.
Sejak 1970, Peter berangkat ke Indonesia untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah tentang sosok Diponegoro dan perang Jawa. Dia ‘memakan’ arsip demi arsip di gedung Arsip Nasional (ANRI) yang dulu berlokasi di Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat. Dia merasa arsip-arsip di ANRI tentang masa kelam penjajahan Belanda bak harta karun yang hilang.
Mulanya Peter berniat meneliti sosok Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808-1811) untuk menyelesaikan studi doktoralnya di Cornell University.
Kekaguman Peter atas Diponegoro muncul setelah melihat sketsa karya Mayor Francois de Stuers dalam tulisan sejarawan Belanda terkemuka H.J. de Graaf. Sketsa menampilkan sesosok pangeran yang menunggang kuda. Di kepalanya melekat sorban. Tubuhnya dibalut pakaian perang sabil.
Penelitian ini sekaligus ditujukan untuk menyelesaikan disertasinya tentang Pangeran Diponegoro. Dia pun berhasil meraih gelar doktor pada 1975 dengan disertasi berjudul Pangeran Dipanagara and the Making of the Java War: Yogyakarta History, 1785-1825.
Berikut petikan wawancara Liputan6.com dengan Peter Carey untuk artikel berseri edisi 200 tahun perang Jawa.
Bagaimana situasi pasca Perang Diponogoro, terutama tatanan situasi politik, ekonomi, dan sosial di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Surakarta?
Setelah perang ada empat hal yang terjadi. Diponegoro ditangkap di Magelang dan diasingkan termasuk semua orang pentolan yang ikut Diponegoro. Banyak yang bedol desa dan pindah ke Jawa Timur. Jadi itu adalah cikal bakal dari satu komunitas baru yang masih menyandang spirit perang dan spirit Islam. Mysticism Islam dari sarekat yang menggembleng Diponegoro waktu kecil dan itu menjadi salah satu benang merah adat kepercayaan dari Diponegoro.
Yang menarik adalah bahwa komunitas baru yang didirikan di Jawa Timur di area seperti Blitar, Malang Selatan, dan area Trenggalek Itu menjadi wadah dari salah satu organisasi yang sangat penting yaitu adalah pendirian dari Nahdlatul Ulama yang terjadi hampir persis 100 tahun setelah perang Jawa. Itu didirikan oleh KH Hasyim Asyari di Surabaya pada bulan Januari 1926. Spirit dari Islam dan spirit dari membangkang terhadap Belanda sebenarnya masih ada kaitan dan masih ada turun temurun dari zaman perang. Jadi perang masih ada gaung ya sampai ke zaman modern.
Dan sebenarnya waktu Pergerakan Nasional dimulai, Diponegoro menjadi pilihan untuk panutan pun untuk PKI, untuk PNI, untuk pendirian Syarikat Islam 1913. Waktu di Indische Partij, tiga serangkai pendirinya dr Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, dan Suwardi Soerjaningrat alias Douwes Dekker memilih Diponegoro sebagai panutan.
Memang Diponegoro memahami bagaimana cara hidup dengan aroma dan bau dari budaya Jawa dan pada zaman pergerakan itu diejawantahkan ke dalam pergerakan untuk Indonesia.
Jadi dari segi budaya, dari segi kepribadian, dari segi Islam, dari segi kepercayaan, dari segi kepedulian dengan Wong Cilik dan pergerakan untuk memperoleh salah satu masa depan yang lebih cerah, banyak yang bisa digalikan dari Perang Jawa sehingga menjadi tapal batas dari zaman modern Indonesia.
Dan waktu Jepang datang ke sini pada bulan Februari 1942, mereka menaklukkan Belanda secara telak. Salah satu kebijakan dari Gunseikanbu adalah pemerintah militer Jepang, memberi salah satu kontrak kepada Muhammad Yamin, seorang penyair dan nasionalis dari Sumatera Barat untuk menulis satu biografi pertama dari sang pangeran Diponegoro di dalam Asia for the Asians series. Jadi ada kebijakan dari pihak Jepang untuk mengorbitkan Diponegoro dan itu mencerminkan salah satu realitas bahwa Diponegoro adalah motor, inspirasi, dan namanya masih bergaung sampai zaman sekarang.
Setelah Perang Diponegoro, Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta tampak lebih ‘tunduk’ terhadap kolonial Belanda dan akhirnya menciptakan lahirnya tanam paksa atau Cultuurstelsel.
Ya, sesudah perang ada aneksasi atau pencaplokan tanah yang masif. Jadi areal-areal masif yang masih restrain (terbatasi) untuk Keraton di wilayah Selatan seperti Banyumas, Bagelen, sebagian areal dari Jawa Timur, semua wilayah yang di luar Negara Agung dicaplok di dalam tangan kolonial. Jadi Keraton seperti museum, tidak lagi ada daya.
Sebenarnya ada satu istilah dari sosiolog Jerman namanya Max Weber bahwa satu istilah, satu ciri khas dari satu negara daulat adalah Sentralisasi Pemerintahan. Pemerintah Pusat punya satu monopoli di atas semua alat-alat yang bisa dipakai untuk memaksa warga dan rakyat mematuhi perintah mereka.
Tidak lagi ada tentara khusus untuk Keraton-Keraton Jogja atau Solo, tidak ada lagi kapasitas untuk mendirikan salah satu wilayah yang bebas dari pengaruh pemerintahan. Dan kita bisa lihat itu di Blora, di mana ada pergerakan Samin yang menolak untuk bayar pajak. Sebab mereka bilang bahwa rakyat tidak akan menerima benefit apapun dari pajak dan itu menjadi salah satu contoh dari percobaan masyarakat secara masif untuk melawan Belanda.
Sebenarnya 111 tahun sesudah perang, Belanda memegang kendali di dalam arti bahwa mereka punya akses kepada kohesif power, mereka punya KNIL, salah satu tentara lokal, kira-kira 35 atau 40 ribu orang dan juga mereka punya salah satu brigade mobil yang mereka pakai untuk menundukkan rakyat, dan itu berjalan sampai Jepang datang. Dan yang aneh adalah bahwa semacam karma pada 8 Maret 1942, di mana Belanda ditaklukkan di Kalijati, Jawa Barat dan itu tanggal yang sama persis dengan Diponegoro masuk Magelang pada 8 Maret 1830 untuk dia dikhianati oleh Belanda.
Jadi ada semacam karma yang dibuat di Magelang, karma yang sudah dijentikkan oleh anak bungsu dari Raja William II, Pangeran Hendrik, dan dia melayangkan surat dari Makassar kepada ayah dan bilang bahwa sebenarnya apa yang kita lakukan di Magelang adalah sesuatu yang sangat membawa untung bagi kita orang Belanda. Sebab kita meraih Jawa dan sebuah kekayaan dari Jawa, tapi cara kita memperoleh Jawa membuat tidak ada lagi petinggi atau seorang penguasa di Nusantara yang akan percaya 100% lagi kepada kita orang Belanda.
Lihatlah Imam Bonjol di Kampung Bonjol di Sumatera Barat. Dia bilang lebih baik saya dibakar hidup-hidup di dalam kampung, dan di benteng saya daripada membuka negosiasi dengan Belanda. Sebab saya akan diperlakukan persis seperti Diponegoro yang saya akan dikhianati. Perang Jawa adalah salah satu perjuangan besar, dan di dalam perang besar itu hanya ada dua outcome. Satu outcome adalah bahwa orang Belanda menang telak atau outcome yang lain adalah pribumi akan menang telak, dan tidak ada jalan tengah.
Jalan tengah bermuara kepada kepercayaan dan sesudah Diponegoro tidak ada, tidak ada trust lagi antara Belanda dengan pribumi.
Ketika sudah kalah dalam perang Jawa seperti itu, kenapa Belanda memilih mempertahankan posisi Kasultanan dan Kasunanan untuk tetap ada dan eksis. Apakah ini memang menjadi cara dari Belanda untuk tetap ada pribumi dari kelompok Ningrat?
Iya, itu satu siasat dari Belanda. Siasat Belanda adalah untuk membuat boneka dari petinggi pribumi di Nusantara. Mereka meringankan tugas Belanda di Nusantara. Mereka (Belanda) ada 232 ribu orang pada tahun 1830-an, tidak mungkin mereka bisa atau memerintah dari satu wilayah yang begitu luas yang berdasarkan sensus yang terakhir 1930, 62 juta dimana 40 juta di Jawa dan Madura dan yang lain di kepulauan di luar Jawa.
Jadi Belanda tidak mungkin mereka bisa ada satu sistem Hindia-Belanda kalau mereka tidak berpaling kepada petinggi lokal dan petinggi lokal dibuat seperti alat dan kaki tangan dari Belanda. Mereka memang diberi privilege tapi semua karisma sebagai orang yang betul-betul mau membaur dengan Wong Cilik seperti seorang Diponegoro muda dan waktu perang sudah hilang.
Mereka menjadi semacam bunglonnya, ada separuh dari Jawa dan separuh dari Belanda dan itu salah satu sistem yang bertahan sampai akhir Hindia-Belanda dan kalau kita lihat pergerakan nasional lebih banyak fokus kepada orang feodalisme, dan kita masih bisa lihat feodialisme di jantung hati dari sistem pemerintahan Indonesia sekarang.
Contoh kasus terjadi di Lebak pada 1856 waktu asisten residen pada waktu itu Eduard Douwes Dekker yang punya nama samaran Multatuli yang menulis buku Max Havelaar. Dia lapor kepada pemerintah bahwa Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Nataningrat yang punya keponakan sangat korup sekali dan pada akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu Albertus Jacobus Duymaer van Twist lebih memihak ke Raden Adipati daripada Eduard Douwes Dekker dan Eduard Douwes Dekker didepak dan dikirim kembali ke Belanda.
Jadi ini satu sistem yang amat korup dimana pergerakan lebih fokus untuk mendobrak menggulingkan sistem feodal daripada Belanda sendiri dan kita bisa membaca itu di dalam Bumi Manusia dari Pramoedya yang bermuara kepada satu hero yaitu Tirto Adhi Soerjo salah satu pelopor wartawan di Hindia Belanda yang dimatikan oleh Belanda 1918.
Hal yang saya tangkap adalah ada korelasi dari kekalahan Perang Jawa dan sistem sosial politik yang akhirnya bisa ditarik sampai dengan sistem pemerintahan di Indonesia saat ini ya. Apakah benar begitu?
Iya, kita bisa baca Sindhunata yang membuat salah satu tulisan yang bagus di Kompas mengenai kemiripan dan paralel ya, sejarah yang mencerminkan situasi yang sangat mirip dengan sekarang ya. Belanda membuat historiografi yang sesat untuk meremehkan dan mengucilkan seorang Diponegoro yang berjuang untuk keadilan sosial. Diponegoro saat itu menunjukkan diri sebagai pemimpin yang sangat bersahaja dan sangat peduli rakyat dan sangat berani dan punya kapasitas untuk menjadi politikus, diplomat dan juga panglima perang.
Bisa digambarkan perubahan besar yang terjadi terhadap tatanan sosial dan politik masyarakat Jawa waktu itu? Bagaimana kondisi di Jawa, mulai dari warga dan mungkin kaum priyayi, bangsawan pada saat itu ketika Diponegoro tertangkap?
Ya mereka tidak punya kapasitas untuk bisa mengatur, hidup sendiri-sendiri, di semua lini ada perubahan. Kalau sebelum perang, pangeran Jawa pakai keris di sabuk di muka. Tapi sesudah Perang, keris diselip di sabuk, di belakang, di punggung. Supaya tidak bisa dengan gampang menghunus keris dan membunuh Belanda. Sesudah Perang, seorang Diponegoro yang blak-blakan kepada Belanda tidak lagi bisa, menjadi orang yang punya bahasa yang sangat plin-plan, banyak pantun yang dipakai atau banyak istilah-istilah yang bisa menghindar dari kritik blak-blakan langsung di depan muka.
Akan tetapi, Diponegoro menanam salah satu radikalisme di dalam dunia politik Jawa dan Nusantara yang berbuah waktu ada revolusi terhadap Belanda. Jadi ada priyayi menjadi semacam anak buah dari Hindia Belanda. Mereka tidak berdaya, mereka kehilangan karisma. Contoh Bupati Terboyo dari Semarang yang menjadi ayah angkat dari Raden Saleh waktu kecil, waktu masih muda bisa menaklukkan dan membunuh seorang jago yang mengganggu ketertiban dan keamanan di area dari wilayah Semarang dan dengan kemenangan itu dia bisa dipilih sebagai Bupati.
Jadi sebelum perang, Bupati punya karisma sendiri, punya keahlian militer untuk bahu-membahu dengan Wong Cilik, bisa mendengarkan mereka punya raut muka dari seorang pemimpin dari rakyat untuk rakyat. Tapi sesudah perang itu sama sekali tidak diperkenankan lagi. Bupati menjadi salah satu ‘makhluk’ dari Hindia Belanda, lalu semua perempuan perkasa tidak lagi punya lini di masyarakat. Mereka dikecilkan dan terus ditekan dalam kekuatan yang membuat satu gambaran dari seorang raden ayu sebagai seorang yang sangat tidak berdaya. Semua keberdayaan dari perempuan ditiadakan dan itu baru saja dibangkikan lagi di bawah Jepang, waktu ada barisan Srikandi.
Kalau bagi rakyat sendiri bagaimana gambarannya?
Rakyat sendiri mereka mengalami satu situasi yang sangat buruk sekali. Belanda bisa meraih untung gila-gilaannya dari culturestelsel, 832 juta gulden yang di dalam uang sekarang adalah 100 miliar dolar Amerika. Tapi tidak ada sepeser pun yang dipakai untuk pendidikan atau kesejahteraan dari rakyat di sini, jadi ada kelaparan besar di Demak dan di Tegal, ada banyak wewenang yang tidak menguntungkan sama sekali. Belanda dari A sampai Z membuat satu situasi yang mereka meraih untung gila-gilaan. Sebanyak 1/3 dari anggaran dasar dari pemerintah Belanda di Eropa berasal dari Jawa
Mengenai kemenangan Belanda di Perang Jawa ini juga menimbulkan kerugian mencapai 20-25 juta gulden. Kalau dikonversi dengan sekarang berada di kisaran berapa?
(Kalau sekarang sekitar) 25 miliar dolar. Tapi mereka bisa meraih 40 kali lebih dari Jawa melalui culturestelsel (tanam paksa).

/data/photo/2025/11/27/692864f357188.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/11/27/6928648ec4154.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5425732/original/052751300_1764235880-Katib_Syuriyah_PBNU.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4815406/original/066297600_1714291979-IMG_0079.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5435275/original/040088700_1765015088-WhatsApp_Image_2025-12-06_at_13.22.18.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5434322/original/047262500_1764922819-Banjir_Rob_Sampai_JIS.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2883200/original/031912800_1565882419-BORGOL-Ridlo.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3248255/original/085752800_1600945384-WhatsApp_Image_2020-09-24_at_17.05.12.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5428942/original/004576700_1764568796-sampah-gelondongan-banjir-bandang-di-tapanuli-selatan-29112025-yudi-4.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5427523/original/002823900_1764393481-1000100028.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)