Kemacetan Jakarta: Surga Ilusi Sekaligus Neraka Logika
Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
KEMACETAN
Jakarta bukan lagi sebagai isu transportasi. Ia adalah sebuah simtom, manifestasi fisik dari sebuah krisis yang jauh lebih fundamental: krisis nalar dalam perencanaan kota, krisis empati dalam pembagian ruang publik, dan krisis imajinasi dalam merumuskan masa depan urban.
Laporan media yang menyoroti perjalanan dua jam untuk menempuh jarak tiga kilometer di Slipi-Palmerah bukanlah sekadar berita, melainkan sebuah diagnosis atas penyakit kronis kota. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang secara sistematis merampas aset paling fundamental milik warga: waktu, kesehatan mental, dan potensi kemanusiaan mereka.
Kita telah begitu lama hidup dalam absurditas ini hingga menormalisasikannya, menerima kondisi yang sejatinya tidak manusiawi. Setiap hari, jutaan jam produktif hangus di aspal, menciptakan lubang hitam ekonomi yang menurut kajian Bappenas pada 2019 menelan kerugian hingga Rp 100 triliun per tahun. Angka yang sulit dibayangkan ini, setara dengan enam kali lipat biaya pembangunan MRT fase pertama , adalah monumen dari luka yang kita ciptakan sendiri.
Namun, beban ini tidak ditanggung secara merata. Kemacetan berfungsi sebagai pajak regresif yang paling mencekik para pekerja berpenghasilan rendah dan menengah. Merekalah yang terpaksa menempuh perjalanan terjauh, terlama, dan termahal, mengorbankan waktu berharga yang seharusnya bisa dialokasikan untuk keluarga, istirahat, atau pengembangan diri. Pada intinya, kemacetan adalah mesin pemelihara ketidaksetaraan sosial.
Selama berpuluh-puluh tahun, respons kolektif kita terhadap kemacetan terjebak dalam sebuah kekeliruan logika yang akut: keyakinan bahwa membangun lebih banyak jalan akan mengurai masalah. Setiap jembatan layang baru atau proyek pelebaran jalan dirayakan sebagai simbol kemajuan, padahal itu tak lebih dari ilusi optik sebuah solusi.
Dalam studi perencanaan kota, fenomena ini memiliki nama:
induced demand
atau permintaan terinduksi. Menambah kapasitas jalan raya, alih-alih melancarkan arus, justru memicu lebih banyak perjalanan baru dengan kendaraan pribadi. Kapasitas tambahan itu akan terisi dalam waktu singkat, menghasilkan tingkat kemacetan yang sama, atau bahkan lebih buruk.
Kegagalan pendekatan ini telah terbukti di seluruh dunia, dengan Katy Freeway di Texas sebagai contoh paling ekstrem—diperlebar hingga 26 lajur, jalan ini tetap menjadi salah satu yang termacet.
Data dari Jakarta sendiri mengonfirmasi betapa absurdnya strategi ini. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor bersifat eksponensial, mencapai 26,37 juta unit pada 2022 , dengan laju pertumbuhan tahunan yang mencengangkan, seperti 7,6% pada 2021. Di sisi lain, pertumbuhan panjang jalan di Jakarta nyaris nol, hanya sekitar 0,01% per tahun.
Kesenjangan matematis yang brutal ini seharusnya menjadi bukti tak terbantahkan bahwa mengejar laju kendaraan dengan aspal adalah sebuah misi bunuh diri.
Kegigihan kita dalam kebijakan ini bukan lagi sekadar kesalahan teknis; ia adalah cerminan dari bias kognitif kolektif. Ini adalah bentuk “pemikiran magis” yang diwariskan dari era Orde Baru yang menyamakan pembangunan dengan beton , ditambah tekanan politik untuk selalu menampilkan “proyek” fisik yang terlihat. Kita terus-menerus mengobati gejala dengan obat yang justru memperparah penyakitnya.
Untuk membongkar akar masalah sesungguhnya, kita harus bergeser dari analisis teknokratis ke analisis psikologis dan kultural. Di tengah belantara beton kota yang seringkali terasa anonim dan kompetitif, kendaraan pribadi telah bertransformasi dari sekadar alat transportasi menjadi “istana bergerak”. Ia adalah gelembung ruang privat yang menawarkan ilusi kontrol, keamanan, dan penegasan status sosial.
Sebuah studi mendalam tentang komuter di Jakarta mengungkap bahwa pengguna mobil didorong oleh motif-motif afektif yang kuat: kenyamanan, kesenangan, dan kebebasan. Sementara itu, pengendara sepeda motor dimotivasi oleh pertimbangan instrumental yang tak kalah kuat: biaya, penghematan waktu, dan kecepatan.
Ketika jutaan individu membuat pilihan yang tampak rasional secara pribadi ini, hasilnya adalah sebuah tragedi kolektif yang dalam ilmu sosial dikenal sebagai “Tragedi Milik Bersama” (
Tragedy of the Commons
).
Jalan raya, sebagai sumber daya publik yang terbatas, hancur lebur karena setiap individu berusaha memaksimalkan kepentingannya sendiri tanpa memedulikan dampak kumulatifnya. Mentalitas “mobilku istanaku” ini melahirkan ketidakadilan spasial yang brutal di ruang publik kita.
Tabel di atas memaparkan sebuah ironi yang menyakitkan: moda transportasi yang paling tidak efisien dalam mengangkut manusia (kendaraan pribadi) justru memonopoli hampir seluruh ruang jalan yang tersedia. Akibatnya, hak mobilitas pengguna transportasi publik, pejalan kaki, dan penyandang disabilitas—yang secara hukum dijamin setara—secara sistematis direnggut.
Ini memaksa kita untuk mendekonstruksi makna “mobilitas” itu sendiri. Mobilitas sejati bukanlah tentang pergerakan kendaraan, melainkan tentang akses warga terhadap kesempatan: pekerjaan, pendidikan, layanan kesehatan, dan ruang sosial.
Tujuan utama kebijakan transportasi seharusnya adalah memaksimalkan akses manusia, bukan volume lalu lintas kendaraan.
Dok. Beritajakarta Ilustrasi bus Transjakarta
Jalan keluar dari neraka kemacetan Jakarta tidak akan ditemukan dalam aplikasi kecerdasan buatan terbaru atau pembangunan satu jembatan layang lagi. Solusinya menuntut sebuah revolusi cara berpikir dan keberanian politik yang radikal, sebagaimana telah dicontohkan oleh kota-kota lain di dunia.
Sebelum transformasi di bawah kepemimpinan Walikota Enrique Peñalosa, Bogota adalah sinonim dari kekacauan lalu lintas. Peñalosa tidak menawarkan solusi tambal sulam. Ia mendeklarasikan sebuah prinsip demokrasi yang fundamental: sebuah bus yang membawa 100 penumpang memiliki hak 100 kali lebih besar atas ruang jalan dibandingkan sebuah mobil yang hanya membawa satu orang.
Berlandaskan filosofi ini, ia membangun TransMilenio, sebuah sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang secara tegas merebut lajur dari mobil pribadi dan mendedikasikannya untuk bus berkapasitas tinggi. Hasilnya fenomenal: sistem ini mampu mengangkut hingga 45.000 penumpang per jam per arah (setara dengan kapasitas metro) , memangkas waktu tempuh hingga 32%, dan secara dramatis menurunkan angka kematian akibat kecelakaan hingga 92% di koridor-koridornya.
Kota ini secara frontal menghadapi “Tragedi Milik Bersama” dengan menerapkan Congestion Pricing (biaya kemacetan) pada 2003. Kebijakan ini memaksa pengemudi untuk membayar biaya eksternalitas negatif (kemacetan dan polusi) yang mereka timbulkan.
Awalnya, kebijakan ini ditentang keras oleh publik (43% menolak, hanya 38% yang mendukung), dan banyak yang skeptis akan keberhasilannya. Namun, setelah diimplementasikan, lalu lintas di pusat kota anjlok 30%, dan dukungan publik berbalik arah dengan sangat cepat.
Ini adalah bukti nyata bahwa kebijakan yang berani dan berbasis data dapat mengubah persepsi publik dengan memberikan hasil yang konkret.
Jakarta harus menempuh jalan yang sama, dengan solusi sistemik yang bersifat dwitunggal:
Pada akhirnya, sebuah kota cerdas (
smart city
) tidak diukur dari jumlah sensor atau aplikasi yang dimilikinya, tetapi dari kebijaksanaannya dalam mengalokasikan sumber dayanya yang paling berharga: ruang publik.
Kecerdasan Bogota tidak terletak pada teknologinya, melainkan pada filosofi demokrasinya. Jalan keluar bagi Jakarta bukanlah pembaruan teknologi, melainkan pembaruan filosofi. Kini saatnya kita memilih: apakah jalanan kita dibangun untuk menumpuk logam, atau untuk menghubungkan manusia?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/06/69342da64f7be.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2023/06/30/649e60ba08ed5.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69341f9033588.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69340c90d8e99.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/08/09/6896da5e4748b.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)