Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Cerita Para Pekerja Job Hugging: Mengapa Mereka Enggan Pindah Kerja? Megapolitan 22 September 2025

Cerita Para Pekerja Job Hugging: Mengapa Mereka Enggan Pindah Kerja?
Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com –
Fenomena bertahan di satu pekerjaan demi rasa aman, atau yang dikenal dengan istilah job hugging, kian marak terjadi di kota-kota besar, termasuk Jakarta.
Istilah ini menggambarkan kondisi ketika pekerja memilih bertahan di tempat kerjanya meski merasa tidak berkembang, karena alasan keamanan finansial dan risiko tinggi bila pindah kerja.
Di sekitar Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat, sejumlah karyawan mengaku enggan melepas pekerjaannya saat ini meski terbersit keinginan untuk mencoba hal baru.
Habib (38), karyawan administrasi sebuah perusahaan distribusi, mengaku sudah delapan tahun bekerja di tempat yang sama.
Ia beberapa kali ingin pindah kerja, tetapi situasi ekonomi membuatnya ragu.
“Kalau ditanya mau pindah, jelas ada keinginan. Tapi lihat situasi sekarang, nyari kerja itu susah. Belum tentu dapat gaji tetap kayak sekarang. Jadi ya lebih baik bertahan, walaupun kadang merasa jenuh,” ujar Habib kepada Kompas.com, Senin (22/9/2025).
Bagi Habib, keberadaan gaji bulanan, jaminan kesehatan, dan status karyawan tetap adalah faktor yang membuatnya tetap bertahan.
“Ya setidaknya belum ada cadangan lain, saya pilih bertahan,” tuturnya.
Ratna (29), karyawan marketing di sebuah perusahaan jasa keuangan, punya pengalaman serupa.
Sudah lima tahun ia bekerja di posisi yang sama, meski sebenarnya ingin menjajal bidang lain.
“Kadang kepikiran resign dan coba bidang baru, misalnya digital marketing atau malah buka usaha sendiri. Tapi kalau gagal gimana? Saya masih punya cicilan dan tanggungan keluarga, makanya saya tetap di sini,” kata Ratna.
Menurutnya, stabilitas lebih berharga daripada passion ketika ada tanggungan ekonomi.
“Kalau masih single mungkin berani ambil risiko. Tapi kalau sudah ada tanggungan, mikirnya beda,” tambahnya.
Fenomena ini mendapat sorotan akademisi. Dr. Rini Juni Astuti, SE., M.Si., Dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menilai job hugging punya dua sisi.
“Job hugging bisa meningkatkan loyalitas, tetapi juga berisiko menimbulkan stagnasi. Kuncinya adalah menciptakan lingkungan kerja yang menyeimbangkan stabilitas dengan tantangan perkembangan karier,” jelas Rini, dikutip dari situs resmi UMY.
Ia menambahkan, budaya kerja di Indonesia turut memperkuat fenomena ini.
Loyalitas kepada atasan maupun organisasi dianggap penting, sehingga banyak pekerja enggan berpindah kerja meskipun peluang berkembang terbuka.
“Budaya Indonesia cenderung menjaga harmoni dan menghindari konflik, sehingga banyak pekerja lebih memilih stabilitas. Loyalitas dianggap sebagai bentuk bakti dan dedikasi,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia per Februari 2025 berada di angka 4,76 persen.
Persentase ini jauh lebih tinggi pada kelompok usia muda: 22,34 persen untuk usia 15–19 tahun, dan 15,34 persen untuk usia 20–24 tahun.
Kondisi ini menimbulkan efek domino. Serapan tenaga kerja baru berkurang, sementara fresh graduate semakin sulit mendapat pekerjaan sesuai bidang.
Akibatnya, pekerja yang sudah mapan justru memilih bertahan, memperkuat fenomena job hugging.
Fenomena ini menjadi cermin dinamika dunia kerja perkotaan. Di satu sisi, job hugging menciptakan loyalitas dan stabilitas di perusahaan.
Namun, di sisi lain, pekerja berisiko terjebak dalam zona nyaman tanpa peningkatan kompetensi atau jenjang karier.
Para pakar menilai, keseimbangan antara keamanan finansial dan peluang berkembang menjadi kunci untuk mengatasi stagnasi.
Bagi perusahaan, penting untuk menghadirkan program pengembangan karyawan, sementara bagi pekerja, perlu keberanian merencanakan karier jangka panjang.
(Reporter: Lidia Pratama Febrian | Editor: Abdul Haris Maulana)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.