Kisah Haru Mardiuita, Bertemu Keluarga di Timor Leste Usai 25 Tahun Terpisah
Tim Redaksi
MALAKA, KOMPAS.com
– Mardiuita, warga Desa Alas, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT), akhirnya bertemu kembali dengan keluarganya setelah 25 tahun terpisah.
Perpisahan itu berawal ketika Timor Leste memutuskan berpisah dari Indonesia lewat referendum pada 1999.
Hasil pemungutan suara saat itu menunjukkan mayoritas masyarakat Timor Timur (sebutan Timor Leste kala itu) memilih menolak berintegrasi dengan Indonesia.
Situasi politik memanas. Masyarakat terbelah antara kelompok pro-integrasi dengan Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan.
Mardiuita yang pro-integrasi harus menerima konsekuensi pahit. Ia dan keluarganya mendapat ancaman karena sikap politiknya.
“Ya orang ancam kami sebelum jejak pendapat pemilihan, kami harus keluar dari Timor Leste kalau tidak, kami dibunuh,” kata Mardiuita kepada Kompas.com, Minggu (17/8/2025).
Ketegangan kian memuncak. Bentrokan antara kedua kelompok semakin sering terjadi.
Hingga akhirnya, Mardiuita memutuskan melarikan diri. Ia menumpang mobil TNI bersama suaminya untuk keluar dari Timor Leste.
“Ada tentara naik mobil datang, akhirnya kami ikut (ke Indonesia) dari 17 September 1999. Kalau kami tetap di sana, kami dibunuh,” ungkap dia.
Namun, keputusan itu membuat Mardiuita harus terpisah dari keluarganya yang tinggal di Manufahi, Timor Leste.
Sebagian besar kerabatnya adalah pendukung kemerdekaan, sehingga memilih tetap bertahan.
“Saya masih banyak punya keluarga di sana. Saya hanya suami istri dan anak saja di sini. Sanak saudara banyak di Timor Leste,” ujar dia.
Sejak perpisahan itu, Mardiuita tak pernah berhenti mencoba berhubungan dengan keluarganya.
Ia beberapa kali meminta bantuan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mengirim surat hingga rekaman video ke Timor Leste.
“Saya coba hubungi lewat surat, saya bikin video juga, LSM kirim ke sana,” katanya.
Balasan memang datang, tetapi bagi Mardiuita, itu belum cukup. Ia ingin bertemu langsung dan bisa memeluk keluarganya. Namun, keinginan itu terhalang oleh keterbatasan ekonomi.
Biaya pembuatan paspor dan perjalanan ke Manufahi yang mencapai sekitar Rp 2 juta membuatnya tak mampu mewujudkan rindu tersebut.
“Sejak tahun 1999, saya tak pernah ke sana (rumah keluarga di Timor Leste),” ujar Mardiuita.
Setelah menunggu lebih dari dua dekade, penantian Mardiuita akhirnya berakhir. Ia mendapatkan rezeki untuk membuat paspor dan langsung memutuskan berangkat ke Timor Leste.
Dengan perjalanan darat selama lima jam, ia kembali menjejak kampung halamannya.
Namun, suasana sudah tak sama lagi. Sejumlah kerabatnya telah meninggal, sementara wajah-wajah yang ia kenal dulu kini berubah dimakan usia.
Tak kuasa menahan haru, Mardiuita menangis saat akhirnya bisa memeluk keluarganya kembali.
“Saya menangis terharu, sedih dari tahun 1999 sampai 2024 sedihnya hampir mau mati. Tapi bagaimana, kita sudah berbeda pendapat, kita mau tak mau harus ikut Indonesia,” kata dia.
Kunjungan
Kompas.com
ke Malaka merupakan bagian dari ekspedisi menuju perbatasan bersama Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI.
Ekspedisi serupa turut dilakukan di PLBN Motaain, PLBN Motamasin, PLBN Wini dan PLBN Aruk.
Anda dapat mengikuti kisah perjalanan kami beserta liputan perayaan ulang tahun Indonesia di topik pilihan
HUT ke-80 RI 2025
.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kisah Haru Mardiuita, Bertemu Keluarga di Timor Leste Usai 25 Tahun Terpisah Megapolitan 18 Agustus 2025
/data/photo/2025/12/18/69441403d2492.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/02/01/679d9a9766e2a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/19/694562daa7af7.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/19/694549671cadc.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/19/69455394a6a8c.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/19/694533fa19596.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)