Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

SAAJA dan Misi Besar Menyelamatkan Masa Depan Anak-anak Indonesia Megapolitan 11 Agustus 2025

SAAJA dan Misi Besar Menyelamatkan Masa Depan Anak-anak Indonesia
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di sebuah sudut Jakarta yang ramai, berdiri sekolah sederhana dari papan kayu, diampu hanya dua guru.
Namanya Sekolah Alternatif untuk Anak Jalanan (SAAJa), tempat di mana anak-anak dari keluarga prasejahtera bisa merasakan bangku pendidikan lewat cerita dan dongeng—bukan sekadar buku dan papan tulis.
Di sekolah alternatif ini, pelajaran tidak selalu datang dari buku tebal atau papan tulis, melainkan dari cerita, dongeng, dan tawa yang menghidupkan mimpi.
Salah satu relawan, Christina Induyanti atau akrab disapa Iin (47) berujar, pengetahuan pertama kali hadir di hadapan anak-anak itu dalam bentuk cerita dan dongeng.
Tujuannya sederhana, yaitu membuat anak-anak nyaman dan menganggap belajar sebagai hal yang menyenangkan.
“Jadi waktu itu juga tidak belajar benar-benar yang harus belajar, pegang pensil dan semacamnya. Jadi kami baru memperkenalkan buku. Jadi kami kayak mendongeng,” ujar Iin, saat ditemui, Sabtu (9/8/2025).
Bangunan SAAJa terbuat dari papan kayu tebal, dihiasi cat warna-warni dengan gambar hewan yang membuat suasana lebih hidup. Di sampingnya, tersedia beberapa fasilitas bermain untuk anak-anak.
Sekolah ini pertama kali berdiri di kawasan Pengarengan, Jakarta Timur, pada 2000. Seorang aktivis bernama Farid Fakih mendirikannya dengan nama Sekolah Rakyat Miskin (SRM).
Awalnya, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang digagas Farid berfokus pada pendistribusian pangan di wilayah tersebut.
Namun, seiring waktu, ia merasa prihatin melihat anak jalanan yang tidak mendapatkan pendidikan sejak usia dini.
Farid pun mengajak para relawan untuk menyelamatkan masa depan anak-anak melalui pendidikan. Salah satunya adalah Iin, yang hingga kini masih setia mengajar.
Iin mengatakan, Farid bisa membayangkan sekitar 20–30 tahun ke depan jika anak-anak itu tidak mendapatkan pendidikan, padahal mereka merupakan generasi penerus bangsa.
“Pendidikan itu semestinya harus masuk sejak usia dini, golden age gitu,” kata Iin.
Meski niatnya mulia, upaya ini sempat mendapat penolakan dari warga. Kondisi ekonomi yang serba terbatas membuat para orang tua hanya fokus pada kebutuhan sehari-hari. Menurut mereka, pendidikan tidak bisa langsung mengenyangkan perut.
Namun, Iin dan para relawan tidak menyerah. Mereka melakukan pendekatan ke warga, termasuk membuka kelas pada sore hari, sehingga anak-anak yang bekerja sejak pagi tetap bisa belajar.
“Jadi akhirnya kami melakukan pendekatan. Bahwa bisa kok anak-anak tetap bekerja, tapi mereka juga bisa belajar. Jadi kita ambil jam itu di sore hari,” jelas Iin.
Metode story telling ini masih digunakan Iin di SAAJa cabang Setiabudi, Jakarta Selatan, yang berdiri sejak 2002.
Sekolah cabang ini dibuka sebagai bagian dari misi Farid untuk menjangkau anak jalanan di berbagai wilayah Jakarta.
“Jadi bagaimana menarik mereka itu dengan kita bercerita. Nanti dari bercerita itu baru kita bisa kupas pelajarannya,” kata Iin.
Dari kegiatan mendongeng, Iin sering melihat anak-anak betah berada di perpustakaan, meski belum mampu membaca. Mereka menunggu waktu belajar sambil memegang buku.
Iin memiliki visi yang sama dengan Farid, yaitu memastikan semua anak, termasuk dari keluarga prasejahtera, mendapat pendidikan layak sejak usia dini.
Setelah Farid meninggal, Iin sempat beralih profesi. Namun, keinginan untuk memberi manfaat bagi masyarakat membuatnya kembali mengelola SAAJa.
Iin mengaku ingin hidupnya bermanfaat bagi orang lain, namun belum memiliki sarana untuk mewujudkan niat tersebut.
“Jadi saya cuma punya tenaga, punya waktu, ya akhirnya mendedikasikan di sini,” ujar Iin.
Kini, SAAJa Setiabudi dikelola hanya oleh Iin, yang merangkap sebagai kepala sekolah dan guru TK A, serta Nunung yang mengajar TK B.
Selain kelas TK, setiap Sabtu mereka membuka bimbingan belajar (bimbel) untuk siswa SD, SMP, dan SMA yang diajarkan oleh relawan mahasiswa. Program bimbel ini dimulai pada 2015, awalnya fokus pada bahasa Inggris.
Ia menjelaskan, pada awalnya bimbel yang mereka jalankan memberikan materi pelajaran bahasa Inggris karena mereka menyadari pentingnya bahasa tersebut.
“Sementara banyak SD juga yang tidak semuanya mereka memberikan pelajaran bahasa Inggris,” jelas Iin.
Kini, kelas bimbel terbuka untuk berbagai mata pelajaran, sesuai keahlian dan inisiatif relawan yang mengajar.
 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.