Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Rumah Flat Menteng, Hunian Kolektif di Pusat Kota Tanpa Campur Tangan Pengembang Megapolitan 11 Juli 2025

Rumah Flat Menteng, Hunian Kolektif di Pusat Kota Tanpa Campur Tangan Pengembang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sebuah bangunan berwarna hijau pucat berdiri tegak di tengah permukiman padat Jalan Rembang 11,
Menteng
,
Jakarta
Pusat.
Meskipun hanya terdiri dari empat lantai, bangunan ini menarik perhatian karena desainnya yang sederhana namun elegan. Rumah itu memiliki jendela besar dan balkon mungil di setiap unit.
Pantauan
Kompas.com,
Kamis (10/7/2025), bagian depan bangunan dihiasi taman kecil yang berisi tanaman perdu serta kerikil putih dan hitam yang ditata rapi.
Di sana, terdapat akses menuju bagian dalam melewati pintu pagar geser berwarna hijau muda, senada dengan pagar pembatas lainnya.
Berlokasi strategis, rumah ini hanya berjarak sekitar 15 menit jalan kaki dari Stasiun Cikini dan dekat dengan halte TransJakarta.
Letaknya yang berada di pusat kota memudahkan mobilitas penghuninya tanpa harus bergantung pada kendaraan pribadi.
Di lantai dasar, terdapat toko buku dan ruang kantor sebagai bagian dari fasilitas bersama. Area ini dikelola oleh koperasi penghuni dan juga digunakan sebagai kantor Rujak Center for Urban Studies.
Rumah Flat Menteng
terdiri dari tujuh unit hunian dengan luas bervariasi, mulai dari 40 hingga 80 meter persegi. Dua unit bahkan digabung hingga mencapai 120 meter persegi.
Hunian ini dikelola oleh koperasi perumahan yang dibentuk oleh para penghuninya sendiri, bukan oleh pengembang swasta.
Salah satu penghuni, Famega, yang bekerja di sektor swasta, menuturkan ide pembangunan rumah flat ini berawal dari diskusi di rumah Marco Kusumawijaya, seorang arsitek dan aktivis perkotaan.
“Ide utamanya adalah membentuk hunian kolektif lewat koperasi. Kami lalu menyusun sistem dan memulai pembangunan bersama,” ujar Famega kepada
Kompas.com,
Kamis.
Menurut Famega, konsep ini menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat urban yang ingin tinggal di pusat kota tanpa harus membeli properti secara penuh yang harganya semakin tak terjangkau.
“Rumah flat ini solusi paling berhasil buat saya. Bisa tinggal di tengah kota, dekat transportasi publik, dan lebih terjangkau,” katanya.
Harga unit di Rumah Flat Menteng bervariasi, mulai dari Rp 400 juta hingga Rp 1,2 miliar, tergantung luasnya. Namun, menurut Famega, skema ini tidak mencerminkan pasar komersial karena seluruh unit dikelola oleh koperasi.
“Unit di sini tidak dijual bebas. Jika pindah, penghuni harus mengembalikan unit ke koperasi,” ucap Famega.
“(Setelah itu) koperasi yang akan mencarikan penghuni baru dengan harga yang sudah dibatasi, sehingga tidak ada spekulasi harga,” jelas  dia.
Famega juga menjelaskan, semua penghuni aktif terlibat dalam pengambilan keputusan, mulai dari pemasangan CCTV hingga pengaturan parkir.
Rapat juga rutin diadakan setiap bulan untuk membahas berbagai hal teknis maupun sosial.
“Kami membahas hal-hal kecil, seperti aturan tidak boleh berisik setelah jam 10 malam, hingga pengelolaan ruang jemur. Semuanya kami diskusikan bersama,” ujarnya.
Selain itu, para penghuni juga bertanggung jawab langsung atas perawatan unit masing-masing.
“Kalau ada kerusakan, ya cari tukang sendiri. Beda dengan tinggal di apartemen biasa,” tambahnya.
Menariknya, dari enam keluarga yang tinggal di rumah flat, tak satu pun yang memiliki kendaraan pribadi seperti mobil dan motor. Hal ini menurut Famega karena keterbatasan lahan parkir hingga juga sudah disepakati dari awal pembangunan.
“Tidak ada satupun yang punya kendaraan, karena dari awal juga sudah disepakati bersama,” tuturnya.
Meskipun menuntut keterlibatan aktif penghuninya, Famega merasa pendekatan ini membuat dia lebih peduli terhadap lingkungan dan tetangga.
“Kami semua tinggal dibangunan yang sama, meski jarang bertemu tetap saja harus saling tahu satu sama lain. Seperti layaknya hunian bersama,” kata dia.
Marco Kusumawijaya, penggagas Rumah Flat Menteng, mengatakan bahwa proyek ini bisa direplikasi di berbagai lokasi lain.
Ia menyebutkan, saat ini koperasi tengah mendampingi dua proyek serupa di kawasan Matraman dan Kantor Wali Kota Jakarta Timur.
Namun, menurut Marco, agar skema hunian koperasi ini menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pemerintah perlu turun tangan.
“Kalau pemerintah bisa menyediakan tanah strategis dan dana bergulir murah ke koperasi, maka model ini bisa diperluas untuk MBR,” kata Marco saat dihubungi
Kompas.com.
Marco juga menyarankan adanya kebijakan
inclusionary zoning
, yaitu kewajiban bagi pengembang untuk menyisihkan ruang untuk perumahan terjangkau.
“Kalau zonasi seperti itu diterapkan, maka harga tanah bisa lebih terkendali dan pasar tidak menaikkan harga seenaknya,” ujarnya.
Bagi Famega, rumah ini bukan sekadar properti, tapi bentuk keberanian mencoba cara baru hidup di kota besar. Ia menekankan, Rumah Flat Menteng tidak ditujukan sebagai instrumen investasi, melainkan sebagai ruang hidup bersama.
“Pesan saya buat generasi muda, jangan takut cari alternatif. Rumah bukan selalu soal investasi, tapi tentang bisa hidup layak dan berbagi ruang,” tuturnya sambil tersenyum.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.