Saat Buku Jadi Pelarian dari Hiruk-pikuk Kehidupan Urban
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah derasnya arus informasi dan hiburan instan melalui media sosial, sejumlah warga Jakarta memilih meluangkan waktu untuk membaca buku sebagai cara menenangkan diri dan memperkaya pikiran.
Nurul Hidayati (26), warga Kebayoran Baru, misalnya, baru saja membeli
Filosofi Teras
karya Henry Manampiring.
Ia mengaku mencari bacaan yang dapat membantunya berpikir lebih tenang di tengah hiruk pikuk kehidupan urban, terlebih buku tersebut sempat ramai diperbincangkan.
“Hidup sekarang tuh penuh distraksi, kadang rasanya pengin berhenti sebentar dan mikir lebih dalam,” kata Nurul kepada Kompas.com di Gramedia Jalma, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (6/6/2025).
Awalnya, Nurul mengira filsafat adalah topik yang rumit dan eksklusif untuk kalangan akademikus.
Namun, setelah membaca Filosofi Teras, persepsinya berubah. Ia terkesan dengan prinsip Stoikisme yang berfokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan.
“Buku ini ringan, dan justru relevan banget sama kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
“Itu simpel, tapi waktu saya baca, langsung kayak, ‘
oh iya ya, selama ini capek sendiri karena ngurusin hal-hal yang enggak bisa saya ubah
‘,” tambahnya.
Sementara itu, Arga (30), seorang desainer grafis, memilih novel-novel Jepang sebagai pelarian dari rutinitas harian. Ia baru saja menyelesaikan
Kafka on the Shore
karya Haruki Murakami.
“Ceritanya surealis tapi tetap nyambung sama kehidupan nyata,” ujar Arga.
Bagi Arga, pengalaman membaca novel tersebut terasa seperti perjalanan masuk ke dunia yang aneh, gelap, namun emosional. Salah satu bagian yang paling membekas adalah adegan ketika karakter Kafka tinggal di perpustakaan.
“Itu seperti simbol keterasingan. Saya juga kadang merasa seperti itu, sendiri di tengah keramaian,” tambahnya.
Arga rutin meluangkan waktu untuk membaca, baik pada malam hari maupun akhir pekan. Ia mengaku bisa menghabiskan waktu hampir dua jam saat membaca.
Dibanding menonton, menurutnya, membaca memberi ruang yang lebih besar bagi imajinasi untuk berkembang.
“Kalau baca, saya ikut ngebangun dunia di kepala sendiri,” katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Sinta (22), mahasiswi Ilmu Komunikasi yang belakangan ini tertarik pada buku-buku bertema psikologis.
Salah satu buku yang baru saja ia baca adalah
Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat
karya Mark Manson.
“Buku itu ngajari aku buat enggak
overthinking
sama semua hal. Kadang hidup itu cuma soal memilih mana yang penting buat dipikirin, sisanya ya diikhlasin,” ujarnya.
Sinta biasanya membaca selama satu jam sehari, terutama saat berada di transportasi umum. Ia merasa bahwa membaca memberikan pengalaman yang lebih dalam dibanding hanya menggulir video pendek di ponsel.
“Kalau baca buku, prosesnya lebih lambat tapi lebih dalam. Aku bisa refleksi, mikir lebih jauh,” ucapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Saat Buku Jadi Pelarian dari Hiruk-pikuk Kehidupan Urban Megapolitan 6 Juni 2025

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5415985/original/006989700_1763438087-Menteri_PPPA.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)



_(1).jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/07/69355bdf95237.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2024/06/28/667dee7dadf04.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/07/693557fbbc4b0.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/07/69354afba42bc.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2023/02/17/63ef7e2e4d45e.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)