Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kepala Babi dan yang Tak Pernah Diucapkan Negara Megapolitan 22 Maret 2025

Kepala Babi dan yang Tak Pernah Diucapkan Negara
Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.
ADA
kalimat yang sering diucapkan dalam situasi krisis di negara demokratis: “Kami mengecam keras.”
Kalimat itu klise, memang. Namun dalam sistem yang sehat, klise pun punya fungsi: menjaga garis batas antara kekuasaan dan kekejaman, antara institusi dan ancaman. Di Indonesia, bahkan klise itu pun kini tak keluar.
Ketika kepala babi dikirim ke kantor redaksi
Tempo
, tidak banyak yang terkejut. Marah, ya. Geram, tentu. Tapi tidak terkejut.
Mungkin karena kita sudah terlalu sering melihat teror muncul tanpa jejak, lalu tenggelam tanpa pelaku.
Atau mungkin, karena jauh di dalam, kita tahu: ini bukan peristiwa tunggal, melainkan kelanjutan. Kita tidak sedang menghadapi hal baru, tapi menghadapi hal lama yang tak pernah diselesaikan.
Di negara lain, kepala binatang dikaitkan dengan mitos, dengan sihir, dengan ritual. Di sini, ia lebih sunyi. Ia adalah pesan yang dikirim diam-diam, ditaruh di depan pintu, tanpa narasi—karena narasi sudah tidak diperlukan.
Kepala babi tidak berbicara, tapi semua orang mengerti maksudnya. Ia hadir sebagai peringatan, bukan argumen. Sebagai alat kekuasaan yang tidak ingin diperdebatkan.
Bahaya sesungguhnya dari kepala babi itu bukan terornya, melainkan diamnya kekuasaan formal. Karena yang membuat teror menjadi sistemik bukan pelakunya, tapi pembiaraannya.
Ketika negara memilih bercanda, atau mempertanyakan apakah itu hanya lelucon, negara sedang mengajarkan kita satu hal: bahwa ada ruang di republik ini yang tak bisa dijangkau hukum, karena ia milik mereka yang tak bisa disentuh.
Indonesia, sepanjang sejarahnya, tidak pernah punya hubungan sehat dengan kritik. Setiap kali suara menantang kekuasaan, selalu ada usaha untuk membuat suara itu diam.
Kadang dengan hukum, seringkali dengan kekerasan. Tapi ada satu bentuk pembungkaman yang lebih dalam: membuat kekerasan itu tampak biasa. Dibiarkan. Dianggap bagian dari permainan. Inilah yang kita saksikan hari ini.
Kita menyebut sistem ini demokrasi. Tapi demokrasi macam apa yang membiarkan jurnalis diteror karena pertanyaan yang terlalu tajam? Demokrasi macam apa yang melihat kepala babi dan memilih tertawa?
Banyak yang menyebut ini sebagai warisan Orde Baru. Tapi warisan bukan alasan. Negara punya cukup waktu untuk belajar, untuk berubah, untuk bertindak lebih baik.
Namun yang dilakukan justru sebaliknya: teror dibiarkan menjadi bagian dari ekosistem, dan negara memosisikan diri sebagai pengamat, bukan penjamin.
Dalam kondisi seperti itu, hukum kehilangan maknanya. Negara kehilangan bentuknya. Dan kita semua kehilangan rasa aman yang seharusnya lahir dari kebebasan berbicara.
Ini bukan pertama kali. Kita tahu sejarahnya. Potongan kepala manusia pernah dikirim ke redaksi di tahun 1980-an. Bangkai ayam pernah dilempar ke rumah keluarga Munir. Dan hari ini, kepala babi dikirim ke meja jurnalis.
Kita bisa terus mencari bedanya, tapi lebih penting mencari yang tak berubah: bahwa tubuh—manusia maupun hewan—terus dijadikan alat untuk membuat orang diam.
Tidak semua kekerasan bersenjata. Beberapa hadir dalam bentuk simbol yang tak bisa diproses hukum.
Tapi semua kekerasan, pada akhirnya, harus dimaknai dari siapa yang membiarkannya terjadi. Karena negara yang tak bersuara, adalah negara yang secara diam-diam menyetujui.
Saya tidak peduli siapa pengirimnya. Yang saya ingin tahu: siapa yang tidak bersuara? Dan kenapa mereka memilih diam?
Indonesia menyukai pernyataan bahwa kita menjunjung tinggi kebebasan pers. Tapi kebebasan macam apa jika setiap kritik dijawab dengan kepala hewan?
Jika setiap pertanyaan harus diimbangi dengan rasa takut? Dan jika negara—yang konon menjaga konstitusi—malah memilih untuk menganggap semua ini sebagai humor yang gagal?
Kepala babi itu bukan masalah agama. Bukan soal selera humor. Bukan soal lelucon sosial media. Kepala babi itu adalah tanda. Tanda bahwa ada wilayah dalam republik ini yang tidak pernah disentuh oleh reformasi.
Wilayah di mana hukum tidak berani masuk, dan negara memilih untuk berjalan pelan, agar tidak dianggap turut campur.
Kita sering bilang bahwa demokrasi adalah perdebatan. Tapi itu hanya bisa terjadi jika semua orang merasa aman saat berbicara. Tanpa rasa aman, tidak ada debat—yang ada hanya monolog dari mereka yang cukup kuat untuk bicara tanpa takut dibalas.
Kalimat yang saya tunggu dari negara sangat sederhana: “Kami mengecam keras.” Bukan karena saya naif. Bukan karena saya percaya satu pernyataan bisa menyelesaikan semuanya.
Tapi karena kalimat itu adalah pagar. Ia memisahkan negara dari yang tidak beradab. Ia memberi isyarat bahwa hukum masih berdiri di sisi yang benar.
Tapi sampai hari ini, kalimat itu belum datang.
Dan karena itu, kita tahu: kepala babi itu sudah menyentuh lebih dari sekadar meja redaksi. Ia telah menyentuh inti dari kegagalan kita sebagai masyarakat yang konon menjunjung kebebasan berpikir.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.