Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

8 Deal DPR-Pemerintah di RKUHAP: Penghinaan Presiden hingga Impunitas Advokat Nasional

Deal DPR-Pemerintah di RKUHAP: Penghinaan Presiden hingga Impunitas Advokat
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah dan
DPR
RI menyepakati sejumlah daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (
RKUHAP
).
Sejumlah kesepakatan DIM itu diambil dalam rapat Panitia Kerja (Panja)
RUU KUHAP
antara Komisi III dan Kementerian Hukum di Gedung DPR RI, 9-10 Juli 2025.
Ketua
Komisi III DPR
RI Habiburokhman menegaskan bahwa seluruh DIM telah selesai dibahas dan ditetapkan dalam dua hari.
“Jumlahnya kan tadi kita berapa, 1.676 DIM. DIM tetap 1.091, DIM redaksional 295,” ujar Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, saat konferensi pers di Gedung DPR RI, Kamis (10/7/2025).
Beberapa di antaranya melarang publikasi siaran langsung persidangan hingga atur impunitas advokat dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP.
Sebagai informasi, RUU KUHAP adalah salah satu prioritas legislasi DPR pada masa sidang ini, dan telah ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.
DPR menargetkan pembahasan rampung sebelum 2026
Namun, Habiburokhman enggan memastikan kapan target penyelesaian perumusan draf RUU KUHAP hasil pembahasan panja tersebut.
Dia hanya berharap proses penyelesaian bisa sesegera mungkin agar bisa disahkan di tingkat atau Komisi III DPR RI.
“Kita enggak bisa kita kasih target, tapi mereka mulai malam ini sebetulnya bisa kerja. Karena kan kerja juga bisa online ya kan, besok juga kerja ya, nanti kita infokan ke kawan-kawan,” pungkas dia.
Berikut ini sejumlah kesepakatan atau
deal
 DPR dan pemerintah eksekutif soal RUU KUHAP:
DPR dan pemerintah sepakat menghapus ketentuan yang melarang publikasi siaran langsung persidangan dari draf RUU KUHAP.
Ketentuan itu sebelumnya dimuat dalam Pasal 253 Ayat (3) draf RUU KUHAP.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan, usulan penghapusan itu diambil setelah menerima masukan dari kelompok masyarakat sipil, termasuk organisasi pers.
“Teman-teman, Pak Wamen, kita juga menerima kunjungan teman-teman pers, waktu itu Aliansi Jurnalis Independen dalam koalisi masyarakat sipil. Ini terkait peliputan, Pak,” kata Habiburokhman, dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP di Gedung DPR RI, Rabu (9/7/2025).
Menurut Habiburokhman, norma tersebut seharusnya tidak diatur dalam KUHAP karena bersifat hukum materil.
“Ini kan sebetulnya norma hukum materiil, Pak. Yang Pasal 4 juga begitu. Jadi, kami komitmen dihapus di sini,” ujar Habiburokhman.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyetujui usulan tersebut.
Sebab, ketentuan mengenai siaran langsung sudah tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
“Sudah diatur dalam KUHP, jadi tidak perlu lagi diatur di KUHAP,” kata Eddy Hiariej, panggilan Edward.
Dengan demikian, ketentuan pelarangan publikasi siaran langsung persidangan tidak lagi akan dimuat dalam RUU KUHAP.
Habiburokhman dan Eddy pun sepakat menghapus pasal tersebut dalam draf RUU KUHAP yang kini tengah dibahas.
Kasus penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) juga disepakati untuk dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (RJ), atau penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Habiburokhman mengatakan, usulan tersebut sekaligus mengakomodasi masukan dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk organisasi masyarakat sipil.
Sebab, banyak pihak menilai bahwa penghinaan terhadap Presiden atau Wapres acap kali muncul dari ekspresi yang sebenarnya ditujukan sebagai kritik.
“Kadang-kadang orang bermaksud mengkritik, menyampaikan kritikan, tetapi dianggap menghina. Di situlah letak pentingnya restorative justice,” kata Habiburokhman, dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP bersama pemerintah di Gedung DPR RI, Rabu.
Politikus Gerindra itu berpandangan bahwa mekanisme RJ penting dikedepankan untuk membuka ruang komunikasi antara pengkritik dan pemerintah, sehingga ada klarifikasi sebelum perkara dibawa ke pengadilan.
“Komunikasi antara pihak pemerintah, diajak ngomong dulu nih orang ini, benar-benar mau menghina enggak?” ucap dia.
Oleh karena itu, lanjut Habiburokhman, DPR RI mengusulkan agar Pasal 77 huruf a RUU KUHAP menghapus pengecualian perkara penghinaan martabat Presiden atau Wapres untuk diselesaikan dengan mekanisme RJ.
Pemerintah juga sepakat dengan usulan revisi pasal tersebut.
“Setuju, Pak. Karena memang pada dasarnya, yang namanya defamation itu adalah klacht delict. Karena dia delik aduan absolut, kalau memang mau di-restorative, tidak apa-apa,” kata Edward.
Selain itu, DPR dan pemerintah juga bersepakat menambahkan aturan mengenai kompensasi atau ganti kerugian yang dapat ditanggung oleh negara di dalam RUU KUHAP.
Akan tetapi, hal itu hanya akan ditanggung oleh negara apabila pelaku tindak pidana tidak mampu membayar ganti rugi kepada korban.
Adapun ketentuan ini merupakan substansi baru yang diusulkan pemerintah dan dimuat dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) 56 RUU KUHAP.
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya,” ujar Eddy dalam rapat Panja RUU KUHAP di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.
Eddy menuturkan, usulan ketentuan ini selaras dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang juga memuat tanggung jawab negara dalam pemulihan korban.
Dia juga menegaskan pengaturan ini penting sebagai bentuk keberpihakan pada korban, sekaligus memastikan kehadiran negara dalam penegakan hukum berkeadilan.
Sebab, negara memiliki tanggung jawab kepada korban, ketika pelaku tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk memberikan restitusi.
“Jadi ketika korban itu memang, mohon maaf, pelakunya kemudian mungkin orang yang tidak mampu, tidak ada harta yang bisa disita, padahal korban ini harus direhabilitasi, siapa yang melakukan itu? Mau tidak mau adalah negara,” jelas Edward.
Setelah mendengar penjelasan dari pemerintah, Ketua Komisi III DPR RI menyatakan bahwa seluruh fraksi menyetujui penambahan ketentuan tersebut.
Mengenai impunitas advokat juga disepakati dalam RUU KUHAP.
Habiburokhman mengatakan, sebelumnya seluruh fraksi di Komisi III telah sepakat secara bulat untuk memasukkan klausul impunitas advokat ke dalam Pasal 140 ayat (2) RUU KUHAP.
“Kemarin sudah melakukan RDP (rapat dengar pendapat) dengan berbagai pihak, banyak juga dari organisasi advokat dan lembaga swadaya masyarakat yang menyampaikan soal impunitas advokat yang perlu ditegaskan di KUHAP juga, jadi bukan hanya di UU Advokat tapi juga di KUHAP,” ujar Habiburokhman dalam rapat.
Adapun poin yang disepakati yaitu advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar persidangan.
Menurut Habiburokhman, rumusan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Advokat, sekaligus mengakomodasi Putusan Mahkamah Konstitusi yang menambahkan perlindungan terhadap advokat dalam menjalankan tugas di luar pengadilan.
Penjelasan terkait frasa “iktikad baik” juga ditegaskan agar tidak menjadi pasal karet.
“Yang dimaksud iktikad baik yaitu sikap dan perilaku advokat dalam menjalankan tugas dan pendampingan hukum berdasarkan kode etik profesi advokat,” ujar politisi Partai Gerindra itu.
Menanggapi usulan tersebut, Wakil Menteri Hukum yang hadir rapat menyatakan bahwa pemerintah setuju dengan usulan DPR tersebut.
“Saya kira selama itu mengacu kepada Undang-Undang Advokat yang eksisting, tidak ada masalah. Kita menambahkan itu dalam DIM 812,” kata Edward.
Poin kesepakatan di RUU KUHAP lainnya yaitu soal mekanisme pengakuan bersalah (plea bargain) dan perjanjian penundaan penuntutan (Deferred Prosecution Agreement/DPA).
Wakil Menteri Hukum menjelaskan, kedua mekanisme itu adalah bagian dari paradigma hukum pidana modern yang tidak hanya menekankan pada keadilan kolektif, tetapi juga keadilan rehabilitatif dan restoratif.
“Pasal 14A memuat definisi
plea bargain
sebagai mekanisme hukum bagi terdakwa untuk mengakui kesalahannya dalam suatu tindak pidana dan bersikap kooperatif dalam pemeriksaan dengan menyampaikan bukti yang mendukung pengakuannya, dengan imbalan keringanan hukuman,” ujar Eddy.
Eddy menekankan,
plea bargain
berbeda dengan
restorative justice
yang dilakukan di luar proses peradilan.
Sebab plea bargain tetap harus mendapat persetujuan dari hakim.
Jika hakim menerima, lanjut Eddy, maka proses pemeriksaan berubah dari acara biasa menjadi acara singkat.
“Jadi hakim yang akan memutuskan apakah plea bargain diterima atau tidak. Kalau diterima, acaranya berubah,” kata Eddy.
Dia menambahkan bahwa aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan, akan memiliki tiga mekanisme penyelesaian perkara.
“Penyidik memiliki tiga instrumen:
restorative justice
pada penyelidikan, penyidikan, dan khusus untuk tindak pidana korporasi. Penuntut umum juga punya tiga:
restorative justice
pada penuntutan,
plea bargain
, dan DPA,” kata dia.
Meski demikian, Eddy menegaskan bahwa
plea bargain
hanya dapat diterapkan untuk tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun.
Mekanisme ini tidak menghapus pidana, tetapi memungkinkan pengurangan hukuman jika terdakwa bersedia mengakui kesalahan dan mengganti kerugian korban.
Selain
plea bargain
, Panja juga menyepakati pengaturan mekanisme DPA, yakni perjanjian penundaan penuntutan yang khusus diterapkan terhadap tindak pidana oleh korporasi.
“Misalnya korporasi melakukan pencemaran lingkungan dan bersedia memperbaiki serta mengganti kerugian masyarakat. Maka jaksa bisa menunda penuntutan dan membuat perjanjian pemulihan dalam jangka waktu tertentu,” kata Edward.
Namun, seperti plea bargain, keputusan akhir terkait DPA tetap berada di tangan hakim.
Jika perusahaan gagal memenuhi isi perjanjian dalam tenggat yang ditentukan, maka penuntutan tetap dilanjutkan.
“DPA ini sudah lazim di negara-negara civil law dan khusus untuk korporasi, terutama pada tindak pidana yang berdampak pada masyarakat dan perekonomian negara,” kata Edward
Tak hanya itu, ada juga kesepakatan dalam RKUHAP untuk menghapus larangan bagi Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan pidana yang lebih berat dibandingkan putusan pengadilan tingkat pertama atau judex factie.
Mulanya, Wakil Menteri Hukum menjelaskan bahwa pemerintah mengusulkan agar ketentuan itu tetap dipertahankan dalam KUHAP yang baru.
“DIM 1531 substansi baru, ini yang kami ambil dari RUU KUHAP yang lama dan menurut kami ini masuk akal (dipertahankan),” kata Edward, Kamis.
Menurut dia, pasal itu dimaksudkan untuk mengatur bahwa Mahkamah Agung tidak boleh menjatuhkan pidana yang lebih berat dari putusan judex factie.
Sebab, MA tidak memeriksa ulang fakta-fakta perkara.
“Jadi bagaimana ceritanya Mahkamah Agung tidak memeriksa fakta, kok dia bisa menjatuhkan lebih berat daripada judex factie,” kata Edward.
Namun demikian, setelah melalui pembahasan, DPR dan pemerintah akhirnya sepakat untuk tidak memasukkan usulan tersebut ke dalam RUU KUHAP.
Ketua Komisi III DPR RI pun mengatakan, Panja dari kedua pihak bersepakat tetap menghapus ketentuan itu dari draf RUU KUHAP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.