6 Tahun Menjaga Kampung Tanpa Asap Rokok di Matraman, Perjuangan yang Tak Mudah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah padatnya permukiman perkotaan dan aktivitas warga yang nyaris tak pernah berhenti, terdapat satu kampung yang mencoba menjaga jarak dari kebiasaan buruk.
Tanpa tembok tinggi atau portal pembatas, warga kampung ini sepakat menciptakan ruang hidup yang lebih sehat dengan menjauhkan asap rokok dari keseharian mereka.
Di RW 06, Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, udara terasa lebih bersih. Anak-anak bermain tanpa harus menyingkir dari asap rokok, ibu-ibu berbincang di teras rumah, dan para lansia duduk berlama-lama di bangku tanpa terganggu bau tembakau.
Di gang tersebut, jalan beraspal membentang lurus. Di kanan dan kiri, dinding rumah berdiri berhadapan, membentuk koridor permukiman yang terbuka dan terang oleh cahaya siang.
Selain mural, terpasang pula beberapa spanduk bertuliskan “Selamat Datang di
Kawasan Tanpa Asap Rokok
” dan “Terima Kasih untuk Tidak Merokok di Kawasan Ini”.
Inisiatif kawasan bebas asap rokok di wilayah ini bukanlah program dadakan. Ia tumbuh dari kesadaran warga, dipelihara melalui kerja kolektif, dan bertahan melewati pasang surut kedisiplinan.
Selama enam tahun terakhir, RW 06 berusaha menjaga konsistensi aturan di tengah keterbatasan pengawasan dan perawatan.
Ketua RW 06 Kelurahan Kayu Manis, Ence Santoso, mengatakan bahwa ketiadaan asap rokok di lingkungannya merupakan gagasan mantan Ketua RW 06, Sukaria.
Gagasan tersebut lahir dari kegelisahan pribadi Sukaria yang melihat kebiasaan merokok begitu lekat dengan kehidupan keluarganya.
“Inisiasi awal itu dari anaknya mantan RW terdahulu lalu di dukung oleh puskesmas,” Kata Ence saat ditemui di kediamannya, Jumat (19/12/2025).
Ia bercerita bahwa Sukaria mengajak anaknya berpikir tentang manfaat jangka panjang, terutama dari sisi ekonomi.
“RW ini bilang ke anaknya, ‘jadinya daripada lo habiskan uang lo dirokok, lebih baik lo enggak merokok, lo kumpulin uang. Sehari berapa untuk merokok? Dua bungkus? kumpulin'” jelas Ence.
Dari kebiasaan merokok tersebut, Ence menyebut, uang yang sebelumnya habis untuk rokok dapat dialihkan menjadi tabungan yang berdampak nyata bagi kehidupan.
“Alhamdulillah, beliau sudah punya rumah berkat tabungan dari rokok. Dia rokok dua bungkus sehari,” ucapnya.
Perjalanan untuk menciptakan kawasan bebas asap rokok tidaklah mudah. Edukasi menjadi kunci utama, dibantu oleh peran puskesmas yang aktif mendampingi warga.
Pendekatannya beragam, mulai dari sosialisasi, terapi tatap muka, hingga pemeriksaan kesehatan rutin.
“Jadi mereka menjelaskan bahayanya rokok terhadap diri kita pribadi ataupun orang sekitarnya,” kata Ence.
Selain itu, puskesmas juga menyediakan ruang konsultasi bagi warga yang ingin berhenti merokok.
Program tersebut dirancang agar warga tidak merasa sendirian saat berusaha lepas dari ketergantungan nikotin. Pendampingan dilakukan secara berkala agar warga tetap memiliki pegangan dan motivasi.
“Di situ (puskesmas) dikasih masukan atau dikasih pegangan buat kita, itu dua bulan sekali,” kata dia.
Upaya untuk berhenti merokok tidak hanya sebatas penyuluhan, tetapi juga dibarengi dengan menjalani pola hidup sehat, serta diberi bantuan medis untuk mengurangi ketergantungan.
“Selain terapi, olahraga, itu pun kemarin dikasih vitamin supaya kita merokok dan itu (rasanya) enggak enak. Dikasih obat supaya kita merasa merokok itu enggak enak,” kata dia.
Ence mengungkapkan, penolakan sempat terjadi pada masa awal program berjalan. Perdebatan antarwarga tak terhindarkan.
Ada warga yang merasa hak pribadinya dibatasi, ada pula yang menganggap larangan merokok sebagai urusan masing-masing individu.
“Paling sulit, sulit sekali. Karena kan ini istilahnya kampung ya, bahkan kalau kita
face to face
. Mungkin kalau sama orang tua, mungkin dia bisa ngarahin,” katanya.
Upaya untuk menegur sering kali berujung adu argumen karena masing-masing merasa memiliki kebebasan atas tubuh dan uangnya sendiri.
“Cuman kalau sama yang seumuran kita larang (merokok), dia akan adu argumentasi, ‘siapa lu, duit-duit gua, yang sakit gua, begitu pasti jawabnya’,” imbuh dia.
Aturan kawasan bebas asap rokok tidak hanya berlaku di ruang publik seperti gang dan teras rumah. Kesepakatan bersama juga menyentuh ruang privat, yakni rumah tangga.
Langkah ini diambil untuk memastikan anggota keluarga, terutama anak-anak dan lansia, benar-benar terlindungi dari paparan asap rokok.
Salah satu bentuk kesepakatan itu adalah meniadakan asbak di dalam rumah warga.
“Kita sendiri sudah sampai ke rumah tangga, asbak-asbak rokok setiap rumah tidak boleh ada,” kata dia.
Pada awal penerapannya, kawasan bebas asap rokok dijaga dengan sanksi administratif. Namun, satuan tugas atau satgas akan lebih dulu memberikan peringatan lisan sebanyak tiga kali.
Jika masih membandel, barulah pelanggar dikenai sanksi berupa denda.
“Memang dulu pertama kali kita adakan kawasan bebas asap rokok, itu setiap orang yang kena pelanggaran, kita kenakan sanksi,” kata Ence.
Seiring berjalannya waktu, pendekatan tersebut dievaluasi. Pengurus RW menilai sanksi berupa uang tidak selalu efektif dan berpotensi menimbulkan resistensi.
Sebagai gantinya, diterapkan sanksi yang lebih mendidik dan memberi dampak langsung bagi lingkungan.
“Sanksi administrasi sebetulnya Rp 50 ribu. Setelah itu terhapus, dinganti dengan penghijauan, membeli pot tanaman,” katanya.
Seiring waktu, tantangan utama bukan lagi soal penolakan, melainkan kelelahan dalam menjaga konsistensi.
Kawasan bebas asap rokok tidak bisa berjalan sendiri tanpa pengawasan rutin. Ketika pengurus tidak selalu hadir, celah pelanggaran mulai muncul meski spanduk masih terpasang, mural masih menghiasi dinding, dan logo kawasan bebas asap rokok masih terlihat.
Tanpa perawatan dan pengawasan, pesan yang dulu kuat perlahan memudar, baik secara harfiah maupun maknawi.
Meski sebagian pelanggaran dilakukan oleh orang luar wilayah, hal itu tetap memengaruhi esensi kawasan bebas asap rokok.
“Jadi, kegiatan-kegiatan ini pun terkadang masih dilanggar juga sama warga. Karena apa? Karena satu, kita kurang pengawasan,” kata Ence.
Meski begitu, keberadaan visual kampanye masih berperan sebagai pengingat bagi sebagian orang yang memahami makna kawasan bebas asap rokok.
“Tapi kalau mereka yang paham atau orang yang paham lewat situ melihat spanduk atau pajangan-pajangan itu, logo-logo itu mereka enggak berani (merokok),” ujarnya.
Kawasan bebas asap rokok di RW 06 tidak hanya dibangun lewat aturan tertulis. Visual menjadi bagian penting dari kampanye.
Mural, lukisan dinding, dan pesan kesehatan menyatu dengan ruang kampung. Namun, waktu dan cuaca bekerja tanpa kompromi.
Dinding yang dulu menjadi media edukasi kini mulai retak. Warna memudar, beberapa mural pecah, dan sebagian pesan tak lagi terbaca jelas. Persoalan ini bukan soal niat, melainkan kemampuan merawat.
“Jadi, kesulitan kami, satu adalah perawatan. Terus bagaimana juga (mural) sudah pada pudar mural-mural yang kita buat. Terus di sini juga mural yang sudah pecah,” kata dia.
Menurut Ence, keterbatasan anggaran menjadi kendala utama meski ada operasional yang diberikan pemerintah.
“Soalnya masalah kegiatan bebas asap rokok ini di wilayah kita, ini kan atas kemauan kita sendiri pribadi kegiatan kita kan buat lingkungan,” ungkapnya.
Kawasan ini lahir dari proses panjang yang dimulai enam tahun lalu, berangkat dari kesadaran bahwa lingkungan padat membutuhkan perlindungan ekstra, terutama bagi anak-anak, ibu hamil, dan lansia.
Meski tak seketat dulu, kawasan bebas asap rokok di kampung ini tidak pernah benar-benar berhenti.
Aturan masih ada, kesepakatan belum dicabut, dan semangat dasarnya tetap hidup di antara warga yang peduli.
Kini, upaya yang dilakukan adalah menghidupkan kembali kepengurusan dan pengawasan, bukan dengan cara represif, melainkan dengan mengulang proses edukasi yang dulu pernah berhasil.
“Itulah, cuman kepengurusannya itu ingin saya galakin lagi ya. Kita galakkan kembali masalah kawasan bebas asap rokok ini,” ujar Ence.
Pasalnya, Ence mengenang kawasan ini sempat menjadi rujukan bagi daerah lain. Bahkan, perwakilan dari luar provinsi datang untuk belajar langsung.
“Bahkan orang dari provinsi lain juga masuk kemari untuk belajar, mengambil contoh dari Papua kan hadir juga kemari untuk studi banding,” kata dia.
Setelah enam tahun berjalan, program kawasan bebas asap rokok memberikan manfaat yang sangat positif. Ence menilai lingkungan terasa lebih segar, aktivitas anak-anak lebih nyaman, dan kualitas hidup meningkat.
“Untuk dampaknya, kayaknya mereka hidup cerah mukanya gaada yang loyo, enggak ada kuning-kuningnya. Merah,” ujar dia.
“Manfaatnya itulah. Lebih
fresh
,” imbuh dia.
Hal yang disampaikan Ence benar dirasakan salah satu warga bernama Wakinem (70). Ia menyebut suasana kampung kini terasa berbeda.
Selain lebih bersih, suasana di lingkungan tempat tinggalnya juga lebih nyaman bagi warga yang ingin berlama-lama di luar rumah, terutama lansia.
“Lebih nyaman. Lingkungan juga enggak bau asap. Sekarang lebih bersih, lebih segar, jadi adem,” kata dia.
Ia mengingat kondisi kampung sebelum aturan diterapkan, ketika asap rokok menjadi bagian dari rutinitas harian.
Saat wacana kawasan bebas asap rokok digulirkan, Wakinem mengaku menyambutnya dengan perasaan campur aduk.
Ada harapan, tetapi juga keraguan, apakah aturan tersebut benar-benar bisa dijalankan di lingkungan kampung.
“Senang karena kalau beneran jalan, enak orang tua sama anak-anak. Tapi ragu, masa orang-orang mau nurut, wong rokok sudah kebiasaan dari dulu. Banyak yang ngomel juga (awal-awal),” ujar dia.
Perubahan di RW 06 juga dirasakan oleh mereka yang sebelumnya merupakan perokok aktif. Bagi sebagian warga, aturan kawasan bebas asap rokok justru menjadi titik balik dalam kebiasaan yang telah dijalani bertahun-tahun.
Irman (bukan nama sebenarnya) adalah salah satunya. Ia mengaku bahwa dulunya sering merokok dengan intensitas cukup tinggi.
“Saya merokok sudah lama, dari masih muda, mungkin sejak umur dua puluhan. Dulu itu sehari bisa habis satu bungkus, kadang lebih kalau lagi sama teman. Sudah jadi kebiasaan, habis makan nyari rokok, bangun tidur nyari rokok,” kata Irman.
Ketika aturan kawasan bebas asap rokok mulai diterapkan, Irman mengaku sempat menolak. Ia merasa ruang geraknya dibatasi di lingkungan tempat tinggalnya sendiri.
“Terus terang, awalnya keberatan. Rasanya kaya dibatasi, kaya hak kita diambil ‘Masa di kampung sendiri enggak boleh ngerokok?’ Waktu itu sempat ngedumel juga,” katanya.
Awalnya, Irman mencoba menyiasati aturan dengan keluar kampung jika ingin merokok. Namun, lama-kelamaan, cara itu justru membuatnya lelah dan mulai mengurangi jumlah rokok yang dihisap.
“Akhirnya sekalian berhenti aja,” ucap dia.
Kini, Irman merasakan manfaat yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan. Selain kesehatan yang membaik, ada keuntungan ekonomi yang ia rasakan secara langsung.
“Manfaatnya banyak. Napas enteng, badan juga lebih enak, lebih
fresh
. Uang yang dulu buat rokok sekarang bisa ditabung atau buat kebutuhan rumah,” ujarnya.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, mengatakan,
kampung bebas asap rokok
merupakan representasi penting dari gerakan warga di tingkat akar rumput.
Ia menilai, kepedulian itu tidak hanya soal kesehatan, tetapi juga tentang bagaimana ruang kota dirawat bersama secara kolektif.
“Jadi ini lebih kepada satu inisiatif masyarakat akar rumput. Kedua ada kesadarannya, kesadaran kolektif dari masyarakat untuk peduli kepada ruang kota,” kata Rakhmat saat dihubungi, Jumat (19/12/2025).
Menurut Rakhmat, penerapan di level RW menunjukkan tingkat kesadaran komunal yang lebih luas meski tidak mudah dijaga dalam jangka panjang.
Ia menambahkan, keberhasilan kawasan bebas asap rokok lebih ditentukan oleh kontrol sosial dibandingkan sanksi administratif.
“Ada gosip, orang yang dibicarakan. Ada sanksi sosial, ada kontrol sosial dari masyarakat. Nah itu yang lebih efektif,” katanya
Namun, Rakhmat mengingatkan bahwa tantangan terbesar justru muncul dari perubahan sosial, terutama faktor migrasi dan heterogenitas penduduk yang dapat menggerus nilai-nilai kolektif yang sudah terbentuk.
“Dalam jangka panjang ini, tantangannya ini. Jadi menurut saya bukan hanya inisiatif dari masyarakat, tapi juga ini perlu ada intervensi negara, misalnya dalam bentuk insentif kepada RT atau RW,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
6 Tahun Menjaga Kampung Tanpa Asap Rokok di Matraman, Perjuangan yang Tak Mudah Megapolitan 22 Desember 2025
/data/photo/2025/01/01/67749ab580622.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/21/6947ff79c01bb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/6948e4573d410.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/6948db197c0d4.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)